Jumat, 11 Oktober 2013

Makalah Mengapa WNI Harus Mempunyai Agama (PKN)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kalau menurut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Diketahui, bahwa sebenarnya kata agama berasal dari bahasa sanskerta āgama yang berarti "tradisi". Istilah lain yang memiliki makna identik dengan agama adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Mengikat di sini maksudnya adalah dengan ber-religi maka seseorang akan mengikat dirinya kepada tuhan.
UUD 1945 nerupakan dasar Negara yang diharapkan menjamin perjalanan kehidupan bangsa beserta warganya, tentunya dalam suatu sistem ketata-negaraan mutlak hukumnya adanya suatu perundang-undangan atau peraturan yang mana fungsi utama dari kesemuanya itu adalah guna mengatur dan mengendalikan arah suatu sistem negara agar tidak melenceng dari jalurnya. Tentunya dalam seluruh aspek kehidupan bernegara, berbangsa,beragama, dan bermasyarakat di satu tanah air yaitu indonesia. Suatu negara yang demokrasi dan berlandaskan hukum ini tidak melarang adanya suatu kepercayaan yang di anut oleh warga negaranya sendiri, dan tentunya harus dilindungi dengan suatu perundang-undangan yang jelas, tegas yang mana menjamin keamanan dalam menjalankan kehidupan beragama dalam suatu negara yang bersifat non religius. Dalam hal ini Negara khatulistiwa atau Indonesia ini memiliki suatu perundang-undangan yang mengatur urusan tentang kehidupan beragama yakni terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2, pembahasan pada makalah ini adalah seputar menganalisa seberapa jauh relevansi antara ayat 1 dan 2 pada pasal 29 dalam sistem perundang-undang NKRI ini.

B.     Rumusan Masalah

Untuk mencapai pembahasan yang diinginkan, penulis merasa perlu merumuskan masalah-masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis merumuskan masalah pada beberapa pertanyaan berikut.
1. Mengapa warga negara Indonesia harus memiliki agama? 
2. Mengapa warga Negara Indonesia yang beragama harus mentaati aturan agamanya.

 C.    Tujuan

1.      Mengetahui pasal-pasal yang mengatur warga negara Indonesia dalam beragama.
2.      Mengetahui hak dan kewajiban memeluk agama.



BAB II
PEMBAHASAN

Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptaannya. Pencipta itu adalah Causa Prima yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari Tuhan dan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam alam Pancasila seperti kita alami sekarang ini tidak ada pemaksaan beragama, atau orang memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat Pancasila dengan sendirinya agama dijamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuensinya diwajibkan adanya toleransi beragama.
A.    Mengapa Warga Negara Indonesia Harus Memiliki Agama?
           
Alasan mengapa warga negara harus memeluk agama karena sudah tertuang pada sila pertama pancasila dan pada undang – undang pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
Undang-undang Isi pasal 29 ayat 1 dan 2 Tentang agama yang berbunyi :
           
(1.)       Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2.)       Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiappenduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
                                                                         
Dari bunyi pasal 29 ayat 1 telah di jelaskan bahwa ideologi awal dasar negara indonesia ini adalah Ketuhanan yang Maha Esa, akan tetapi ayat ini menjadi berkontraksi ketika bunyi pasal 29 ayat 2 amat bertentangan dengan ayat sebelumnya, keterkaitan antara ayat di pasal ini menjadi terputus dan subtansi dari masing- masing ayat menjadi kabur. Prinsip ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi Agama Islam Sebagai agama resmi dan Hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Sistem yang dianut Indonesia dalam perundang-undanganya merupakan Mix Law system. mengapa indonesia menganut sistem tersebut dan pada pasal 29 ayat 1 dan 2 bertentangan,? karena pada dasarnya sistem yuridis konstitusional indonesia terbuka lebar terhadap penerapan syariat islam dan hal yang berkaitan pada pasal 29 ayat 2 merupakan bentuk implementasi dari suatu sistem negara yang demokratis yang mana setiap warga negara bebas menentukan jalurnya dalam beragama.
Membahas mengenai kehidupan beragama dalam perspektif konstitusi dapat dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib untuk memeluk dan menjalankan agama, termasuk Agama Islam. Hal ini menjadi suatu konsekuensi bagi pemeluk agama yang bersangkutan wajib menjalankan syariat agama. Apabila seseorang beragama Islam atau menyatakan diri beragama Islam, maka dia harus tunduk pada aturan Islam, bukan justru dia hanya mengaku beragama Islam tanpa melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam dengan sungguh-sungguh. Pengertian hak beragama hanya mengenai hak untuk menjalankan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga dalam tataran implementasi mengenai kehidupan beragama perlu adanya aktualisasi mengenai nilai-nilai kebebasan yang ada[19] untuk memberikan pencerahan makna yang terkandung di dalam UUD 1945.
Penekanan kewajiban untuk menjalankan agama yang diyakini dbuktikan dengan menjalankan rukun- rukun dari setiap aturan agama yang berlaku di Indonesia Sehingga apabila prinsip beragama dalam perspektif konstitusi diartikan secara seimbang antara hak dan kewajiban, maka akan mudah bisa mewujudkan ketertiban hukum, kehidupan yang saling toleransi, dan ketentraman.

B.     Pentingnya agama bagi kehidupan manusia
      
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya manusia, sangatlah membutuhkan agama. Dan sangatlah dibutuhkannya agama bagi manusia, tidak hanya di zaman primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang, tetapi juga zaman modern sekarang, sewaktu ilmu dan teknologi telah sedemikian maju.
Berikut ini adalah  sebgian dari bukti – bukti mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia.
1.       Karena agama sumber moral.
2.       Karena agama merupakan petunjuk kebenaran.
3.       Karena agama merupakan sumber informasi masalah metafisika.
4.       Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik dikala suka maupun duka.

C.     Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
                          
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1.       Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

2.      Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk tertinggi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.

3.       Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
§  Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
§  Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
                                                     
4.      Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
§  Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
§  Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
§  Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama.

5.       Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:
1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara Ibadat.
3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5.      Pemberi identitas diri.
6.      Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi   intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu   adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif. Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.








BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
Dari kegiatan diskusi yang kami laksanakan, kami dapat mengetahui beberapa informasi yang dapat bermanfaat dalam kegiatan sehari-hari misalnya dengan menjalankan kewajiban dari agama kita karena banyak sekali manfaatnya. Beragama memang merupakan hak individual seseorang. Dalam poin ini, Indonesia menetapkan pemaknaan hak tersebut pada "hak memilih", bukan hak mengikuti. Dalam hak mengikuti, maka seseorang dapat mengikuti atau tidak sebuah agama. Namun dalam hak memilih, maka seseorang harus mengikuti namun dibebaskan untuk memeluk salah satu dari beberapa agama yang disahkan pemerintah.
Apabila ia nekat tidak mau mengikuti agama dan berkeras hati tidak mau memilih? itu tandanya ia melakukan sebuah tindakan yang non-Indonesiawi. Kita tahu bahwa pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan adalah diraih "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa". Penggunaan kata Allah serta kalimat yang maha kuasa menunjukkan tentang eksistensi tuhan yang mana pencapaiannya adalah memalui jalan ritus keagamaan. Begitu pula sila pertama Pancasila. Selain itu, dalam tatanan birokrasi di negeri ini agama memiliki posisi yang sangat penting, contohnya terkait dengan urusan pernikahan, keperdataan hingga identitas diri seperti KTP dan lain sebagainya. Hal tersebut menggambarkan bahwa sejatinya negeri ini adalah negara agama yang mewajibkan seluruh penduduknya untuk memilih agama yang telah ditentukan.








Daftar Pustaka


http://dhymas.wordpress.com/satu-bantahan-lagi-terhadap-dongeng/agama/mengapa-kita-beragama/

Kamis, 10 Oktober 2013

Makalah Kesopanan dan Interaksi (Pragmatik)


BAB I

 Pendahuluan




A. Latar Belakang Masalah 


Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar ( atau pembaca). Sebagai akibat studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksud orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengar makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Prakmatik adalah studi tentang maksud penutur.

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Wijana, 1996).

Agar apa yang kita kita katakan dalam interaksi tersebut bermakna, maka kita harus memperhatikan berbagai macam  faktor yang berkaitan dengan kesenjangan dan kedekatan social. Sebagian faktor-faktor ini terbentuk khusus melalui suatu interaksi selain karena faktor luar juga.

Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan sebagai suatu konsep yang tegas seperti gagasan tingkah laku sosial yang sopan,atau etiket terdapat dalam budaya. Juga dimungkinkan menentkan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berebda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus.







 B. Rumusan Masalah 


Untuk mencapai tujuan pembahasan yang diinginkan, penulis merasa perlu merumuskan masalah masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis merumuskan masalah pada beberapa pertanyaan berikut.

1. Bagaimana  kebahasaan di dalam interaksi lingual yang baik? 
2. Bagaimana agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan?






C.   Tujuan



1.      Mengetahui apa maksud dari kesopanan dan interkasi dalam pragmatik.

2.      Mengetahui apa saja maksim yang terdapat pada kesopanan.




D. Metode Penulisan
                                                

Makalah ini disusun dengan metode pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Penulis akan menguraikan permasalahn yang dibahas dengan jelas dan komprehensif. Data makalah yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka yaitu penulis mengambil data dari kegiatan membaca sebagai literatur yang relevan dengan tema makalah dan diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data tersebut dalam konteks tema makalah. 




BAB II

ISI

A.   Prinsip Kesopanan (Politeness Principles)


            Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Dewa Putu Wijana, 1996).

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan.


A.1 Maksim Kesopansantunan Leech

1.     Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah              :  “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu                           :  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.

                                                                             
2.    Maksim Kedermawanan


Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Anak kos A              : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang
kotor”
Anak kos B              : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”

Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B.

3. Maksim Penghargaan


Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Dosen A            : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B            : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.

4.    Maksim Kesederhanaan


Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A           : “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B            : ” Waduh..nanti grogi aku.”

Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ” Waduh..nanti grogi aku.”

5.    Maksim Pemufakatan/Kecocokan


Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Guru A               : “Ruangannya gelap ya, Bu.”
Guru B               : “He’eh. Saklarnya mana ya?”
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.

6.    Maksim Kesimpatian


Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Mahasiswa A  : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Mahasiswa B   : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”








A.2 Model Kesopansantunan Brown – Levinson

1.    Face Wants


Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-olah ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain. Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA). Perhatikan contoh berikut:

Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: “Aku akan mengatakan padanya untuk mematikan musik berisik itu sekarang juga!” atau si istri dapat melakukan FSA: “Barangkali kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang sudah mulai larut dan kita perlu tidur”.

2.    Negative dan Positive Face


Menurut Brown dan levinson, negative face adalah  the basic claim to territories, personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative face adalah kebutuhan untuk mandiri dan positive face adalah kebutuhan untuk terkoneksi (menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative dan positive face, maka dapat disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan kepentingan orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini dinamakan negative politeness. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung menunjukkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive politeness.
Secara singkat, Yule (2010:135)membedakan positive face dan negative face sebagai berikut.



Positive Face
Negative Face
Keinginan
Pendekatan sosial
Kebebasan dari pembebanan
Kebutuhan
  • untuk terhubung
  • Untuk diterima sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama
  • untuk mandiri
  • Untuk memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani

Penekanan
Pada solidaritas dan kesamaan
pada penghormatan dan kepedulian






3. Negative and Positive Politeness


Negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan mitra tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”. Misal, di sebuah gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang Anda perlukan dengan berkata pada David,

“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi barangkali Anda bisa memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?”

Contoh yang lain,

“Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu, ehmm, jika kamu Anda tidak membutuhkannya sekarang?

Adanya pemberian pilihan berpengaruh pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan jawaban “tidak” diberikan, maka semakin sopan lah tuturan tersebut.

Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, membuat orang lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Misal Anda masih berada di student center dan masih memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta bantuan pada teman dekat Anda, Rudi.

“Rudi, kamu kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jika kamu memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi.”


4.    Superstrategies Dalam Kesopanan


Dalam setiap tindak tutur, kita selalu memiliki banyak ekspresi tuturan. Brown and Levinson (1987) menyarankan beberapa superstrategiesi bagi pengguna bahasa untuk bias berkomunikasi dengan cara yang sopan (dikutip dari Yule, 1996, pp.62-66).” Contoh berikut ini akan member penjelasan mengenai superstrategies. Misalnya Anda sedang mengikuti ujian. Anda kemudian menyadari bahwa anda tidak membawa pena. Anda yakin teman sekelas anda akan memberi bantuan. Dalam kasus ini, pertama-tama anda harus membuat keputusan apakah mengatakan sesuatu atau tidak.


a.    Tidak mengatakan sesuatu


Anda dapat langsung mencari di dalam tas tanpa mengatakan apapun menunggu teman anda bertanya atau menawarkan bantuan. Pendekatan ‘tidak mengatakan apapun’ mungkin berhasil atau tidak berhasil. Hal tersebut bergantung pada bagaimana orang lain menginterpretasikan tindakan anda.


b.    Mengatakan sesuatu : off record


Jika anda memutuskan untuk mengatakan sesuatu, anda bisa berkata: “Oh dear. I Forgot my pen”. Sama halnya dengan pendekatan ‘tidak mengatakan sesuatu”, mengatakan sesuatu: off record ini juga memiliki kemungkinan untuk berhasil atau pun gagal. Tidak ada jaminan bahwa orang lain pasti memahami maksud anda.


c.     Mengatakan sesuatu: on record


Berlawanan dengan pernyataan off record, anda bisa mengekspresikan kebutuhan anda dengan langsung berbicara pada seseorang. Cara yang paling eksplisit untuk menyatakan kebutuhan anda adalah dengan tegas on record. Anda bisa secara langsung meminta bantuan dengan mengatakan: “Give me a pen!” Permintaan yang tegas, mengikuti  maksim Grice adalah benar-benar langsung dan ringkas. Meskipun demikian, hal ini memiliki potensi mengancam muka mitra tutur jika permintaan ini dianggap sebagai sebuah perintah. Untuk menghindari hal tersebut, anda harus melakukan face saving acts yang menggunakan strategi kesopanan positif dan negative untuk meredam ancaman.

Strategi kesopanan positif berorientasi pada usaha untuk memperbaiki ancaman positive face pendengar. Ketika anda menggunakan kesopanan positif, cobalah untuk membayangkan bahwa pendengar memiliki dasar yang sama atau bahkan memiliki hubungan pertemanan dengan anda. Menggunakan bahasa identitas dalam sebuah kelompok, anda bisa berkata: (“How about letting me use your pen?)” bentuk let menandai adanya rasa solidaritas di antara pembicara dan pendengar. Namun demikian, tetap saja strategi ini memiliki resiko untuk ditolak jika si pendengar berbeda tingkat social dengan anda. Dalam kasus ini, strategi kesopanan sebaliknya mungkin lebih tepat untuk digunakan.

Strategi kesopanan negatif tidak selalu bermaksud tidak baik. Kenyataannya, strategi ini bermaksud memperbaiki fakta negative yang mengancam pendengar. Anda dapat meminta bantuan secara tidak langsung dengan bertanya “Could you lend me a pen?” atau “Sorry to bother you, but may I borrow your pen?” Pertanyaan-pertanyaan ini didahului oleh ungkapan permintaan maaf untuk pembebanan yang menunjukkan keprihatinan anda tentang kerugian untuk pendengar. Selain itu, meminta izin untuk mengajukan pertanyaan lebih sopan.











B. Interaksi


Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.

Syarat terjadinya interaksi sosial terdiri atas kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak sosial tidak hanya dengan bersentuhan fisik. Dengan perkembangan tehnologi manusia dapat berhubungan tanpa bersentuhan, misalnya melalui telepon, telegrap dan lain-lain. Komunikasi dapat diartikan jika seseorang dapat memberi arti pada perilaku orang lain atau perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.


a.      Proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari faktor:

  1. Imitasi merupakan suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang.
  2. Sugesti merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan tanpa berfikir rasional.
  3. Simpati merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena penampilan,kebijaksanaan atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati.
  4. Identifikasi merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang ditiru (idolanya)
  5.  Empati merupakan proses ikut serta merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Proses empati biasanya ikut serta merasakan penderitaan orang lain.

b. Macam - Macam Interaksi :


1. Interaksi antara individu dan individu
Dalam hubungan ini bisa terjadi interaksi positif ataupun negatif. Interaksi positif, jika jika hubungan yang terjadi saling menguntungkan. Interaksi negatif, jika hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau keduanya (bermusuhan).
2. Interaksi antara individu dan kelompok
Interaksi ini pun dapat berlangsung secara positif maupun negatif. Bentuk interaksi sosial individu dan kelompok bermacam - macam sesuai situasi dan kondisinya.
3. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok
Interaksi sosial kelompok dan kelompok terjadi sebagai satu kesatuan bukan kehendak pribadi. Misalnya, kerja sama antara dua perusahaan untuk membicarakan suatu proyek.







c.    Bentuk - Bentuk Interaksi Sosial


Berdasarkan pendapat menurut Tim Sosiologi (2002), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu (p. 49) :


1.
   Interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk asosiasi (hubungan atau gabungan) seperti :


a. Kerja sama
Adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
b. Akomodasi
Adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi dan kelompok - kelompok manusia untuk meredakan pertentangan.
c. Asimilasi
Adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran.
d. Akulturasi
Adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur - unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur - unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari
kebudayaan itu sendiri.


2. Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk - bentuk pertentangan atau konflik, seperti :


a. Persaingan
Adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik di pihak lawannya.
b. Kontravensi
Adalah bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun secara terang - terangan yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok atau terhadap unsur - unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik.
c. Konflik
Adalah proses sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut.


d. Ciri - Ciri Interaksi Sosial


Menurut Tim Sosiologi (2002), ada empat ciri - ciri interaksi sosial, antara lain (p. 23) :
a. Jumlah pelakunya lebih dari satu orang
b. Terjadinya komunikasi di antara pelaku melalui kontak sosial
c. Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas
d. Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu


e. Syarat - Syarat Terjadinya Interaksi Sosial


Berdasarkan pendapat menurut Tim Sosiologi (2002), interaksi sosial dapat berlangsung jika memenuhi dua syarat di bawah ini, yaitu (p. 26) :
a. Kontak sosial
Adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan awal terjadinya interaksi sosial, dan masing - masing pihak saling bereaksi antara satu dengan yang lain meski tidak harus bersentuhan secara fisik.
b. Komunikasi
Artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain.





























BAB III

PENUTUP



A.    Simpulan

Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Model kesopan santunan antara lain: face wants, negative dan positive face, negative dan positive politeness, superstrategies dalam kesopanan. Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Maksim Kesopansantunan Leech yaitu sebagai berikut : Maksim Kebijaksanaan (tact maxim), Maksim Kedermawanan, Maksim Penghargaan, Maksim Kesederhanaan, Maksim Pemufakatan/Kecocokan, Maksim Kesimpatian.


B.   Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut, yakni:

1)      Kita sebagai penutur harus dapat bertutur secara santun agar tercipta komunikasi yang sehat antara penutur dan mitra tutur.

2)      Kita terapkan atau implementasikan konsep-konsep kesantunan dari para ahli dalam bertutur dengan orang lain.












BAB IV

DAFTAR PUSTAKA


Leech, Geoffrey. 1991. Principle of Pragmatics. London: Longman
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press


http://littlestoriesoflanguages.wordpress.com/2012/05/16/prinsip-kesopanan-politeness-principles/